Pernah ada seorang anak kecil dengan watak yang kurang baik. Dia sering marah-marah tanpa alasan yang jelas dan kerjaannya bertengkar dengan teman-teman sepermainannya. Hingga akhirnya, Ayahnya memberi dia sebuah wadah yang di dalamnya berisi penuh dengan paku, dan menyuruh anak laki-laki tersebut untuk memaku satu batang paku di pohon yang ada di pekarangan rumahnya setiap kali dia kehilangan kesabarannya atau berselisih paham dengan orang lain.
Hari pertama dia memaku kurang lebih 13 paku di pohon. Pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri, dan jumlah paku yang dipakainya untuk memaku pun berkurang dari hari ke hari. Dia mendapatkan bahwa lebih gampang menahan diri daripada memaku di pohon. Akhirnya tiba hari dimana dia tidak perlu lagi memaku sebatang paku pun dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya.
Sang ayah kemudian menyuruhnya untuk mencabut sebatang paku dari pohon tersebut setiap hari bila dia berhasil menahan diri/bersabar. Hari-hari berlalu dan akhirnya tiba hari dimana dia bisa menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pohon.
Sang ayah membawa anaknya ke pohon dan berkata, "Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba lihat betapa banyak lubang yang ada di pohon. Pohon ini tidak akan kembali seperti semula. Kalau kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain, hal itu selalu meninggalkan luka seperti luka bekas paku yang ada di pohon."
"Kau bisa menusukkan pisau di punggung orang dan mencabutnya kembali, tetapi akan meninggalkan luka. Tak peduli berapa kali kau meminta maaf/menyesal, lukanya tetap membekas. Luka melalui ucapan sama perihnya seperti luka fisik. Kawan-kawan adalah perhiasan yang langka. Mereka membuatmu tertawa dan memberimu semangat. Mereka bersedia mendengarkan jika itu kau perlukan, mereka menunjang dan membuka hatimu. Tunjukkanlah kepada teman-temanmu betapa kau menyukai mereka."
Hari pertama dia memaku kurang lebih 13 paku di pohon. Pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri, dan jumlah paku yang dipakainya untuk memaku pun berkurang dari hari ke hari. Dia mendapatkan bahwa lebih gampang menahan diri daripada memaku di pohon. Akhirnya tiba hari dimana dia tidak perlu lagi memaku sebatang paku pun dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya.
Sang ayah kemudian menyuruhnya untuk mencabut sebatang paku dari pohon tersebut setiap hari bila dia berhasil menahan diri/bersabar. Hari-hari berlalu dan akhirnya tiba hari dimana dia bisa menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pohon.
Sang ayah membawa anaknya ke pohon dan berkata, "Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba lihat betapa banyak lubang yang ada di pohon. Pohon ini tidak akan kembali seperti semula. Kalau kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain, hal itu selalu meninggalkan luka seperti luka bekas paku yang ada di pohon."
"Kau bisa menusukkan pisau di punggung orang dan mencabutnya kembali, tetapi akan meninggalkan luka. Tak peduli berapa kali kau meminta maaf/menyesal, lukanya tetap membekas. Luka melalui ucapan sama perihnya seperti luka fisik. Kawan-kawan adalah perhiasan yang langka. Mereka membuatmu tertawa dan memberimu semangat. Mereka bersedia mendengarkan jika itu kau perlukan, mereka menunjang dan membuka hatimu. Tunjukkanlah kepada teman-temanmu betapa kau menyukai mereka."
0 comments:
Post a Comment